Buku Harus Diterbitkan Penerbit yang Bertanggungjawab
Pepatah ‘buku adalah jendela dunia’ merupakan ungkapan yang tidak bisa dielakkan. Karena salah satu sifat buku yang memberikan pengetahuan, tentu konten atau isi buku harus dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga diperlukan institusi khusus untuk melakukan penelahaan khusus pada konten buku.
Demikian diungkapkan Wakil Ketua Komisi X DPR, Abdul Kharis Almasyhari, usai memimpin kunjungan Tim Panja Rancangan Undang-undang Sistem Perbukuan, ke Provinsi DI Yogyakarta, Jumat (4/12/15) lalu. Tim kunjungan disambut oleh Sekretaris Daerah Provinsi DI Yogyakarta.
“Mesti ada sebuah institusi, atau siapa nanti yang ditunjuk untuk melakukan penelahaan konten buku. Jangan sampai, buku yang diterbitkan dan disebarkan, mengandung konten yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Ini masih ada hubungannya dengan institusi penerbitan yang jelas dan bertanggung jawab juga,” kata Kharis.
Politisi F-PKS itu menambahkan, institusi yang dibentuk itu nantinya bertugas untuk mengawasi konten, dalam hal ini ketika terjadi penyimpangan dalam konten buku. Bukan kemudian malah mengatur konten.
“Mengawasi agar tidak terjadi penyimpangan, yang berdampak pada kontraproduktif dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,” imbuh Kharis.
Tentunya, lanjut Kharis, hal itu pun didukung dengan penerbit yang bertanggungjawab dalam menerbitkan buku. Pasalnya, masih ada percetakaan, biasanya bersifat perorangan, yang tidak dapat mempertanggungjawabkan hasil cetakannya.
“Oleh karena itu, masukan dari DI Yogyakarta ini, kita garis bawahi, bahwa buku harus diterbitkan oleh penerbit yang jelas. Tidak bisa oleh penerbit yang bisa menerbitkan tulisan seseorang yang tidak bisa dipertanggungjawabkan,” pesan politisi asal dapil Jawa Tengah itu.
Sementara itu sebelumnya, amanat RUU yang mewajibkan untuk membentuk Dewan Perbukuan Nasional, mendapat sorotan Sekda Provinsi DI Yogyakarta, Ichsanuri. Ichsanuri berharap, Dewan Perbukuan nantinya bukan hanya ada di pusat, tapi juga sampia ke tingkat daerah.
"Karena saya khawatir, apa yang terjadi di Malang beberapa waktu lalu, soal Lembar Kerja Siswa yang berisi konten vulgar, terjadi lagi. Oleh karena itu saya mengharapkan, dalam hal kontrol dan kualitas buku, mohon di setiap jenjang itu ada, dengan petugas yang semakin teknis,” saran Ichanuri.
Senada dengan Sekda, Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Kadisdikpora) Provinsi DI Yogyakarta, Baskara Aji, mengaku pihaknya pernah kecolongan dengan adanya kesalahan pada buku referensi untuk anak didik. Ini terjadi pada buku digital atau e-book, yang dapat diunduh dengan mudah oleh kalangan umum.
"Kami beberapa waktu lalu kecolongan, kami menemukan buku referensi yang isinya salah dan sangat fatal. Yakni, Burung Garuda Indonesia menengok kearah yang salah. Dan tidak dicantumkan siapa yang menerbitkan dan bertanggung jawab. Tapi anak-anak dengan mudah mudah mengunduhnya. Anak-anak mengunduhnya tidak selektif,” jelas Baskara.
Untuk itu, ia meminta agar peredaran buku digital ini dapat dimasukkan ke dalam RUU Sistem Perbukuan, sehingga ada pihak yang memberikan rekomendasi atau pemblokiran kepada buku digital yang beredar.
“Buku digital sangat banyak kita temukan. Kita lihat banyak orang yang bisa menulis, dan mengunggahnya di internet, sehingga banyak orang juga yang mengaksesnya. Anak-anak juga sudah banyak yang mengonsumsi buku digital,” jelas Baskara.
Sementara, Kepala Dinas Pendidikan Menengah dan Non Formal Kabupaten Bantul, Totok Sudarto mengaku pernah menemukan buku yang beralisan radikalisme, padahal buku itu sudah mendapat izin untuk terbit dari Kemendikbud dan Kemenag. Ia mempertanyakan, apakah kedua Kementerian itu sudah benar-benar menyeleksi buku yang akan diterbitkan. Akibat kesalahan cetak buku itu, membuat kondisi semakin tidak kondusif. (sf), foto : sofyan efendi/parle/hr.